Berkaca Pada Sepakbola, Tentang Keadaan Suatu Negara

Filed under: by: ilmandhohiry

Tulisan ini saya buat ketika memahami arti sebuah otonomi daerah terhadap perkembangan sepakbola di Indonesia. Sudah bukan rahasia umum lagi bahwa sebagian majoritas laki-laki menyukai olahraga sepakbola, bahkan bukan hanya sekedar berolahraga melainkan juga kesukaan dalam menyimak perkembangan liga-liga di dunia, terlebih liga champions di Erofa. Lalu apa hubungannya negara/pemerintahan dengan sepakbola? Berkaca dari perkembangan sepakbola di dunia, terlintas dari benak saya bahwa ada suatu kemiripan tentang sepakbola dengan kondisi pemerintahan dalam suatu Negara saat ini.
Bagi yang menyukai dan sering menyimak perkembangan liga-liga di dunia, pasti secara tidak langsung akan mengetahui bahwa klub-klub yang bersaing memperebutkan juara adalah selalu klub-klub kaya dan mempunyai dana besar. Hal ini dapat kita lihat bahwa klub yang senantiasa bersaing dan menjuarai liga-liga sepakbola adalah klub-klub ibukota dari Negara itu berada. Misalkan Barcelona dan Real Madrid di Spanyol, Mancester Unined dan Chelsea di Inggeris, AS Roma di Italy, Persija dan Persib di Indonesia, Lyon di Prancis Bayern Munchen di Jerman.
Jika kita kaitkan maslah ini ke dalam pemerintahan, jelas bahwa di semua Negara selalu saja ada kecenderungan terjadinya sentralisasi terhadap kota yang dijadikan sebagai ibu kota Negara tersebut, sehingga kemajuan ibu kota akan lebih baik dari kota-kota lainnya. Misalkan saja Jakarta, Tokyo, New York, dan lain-lain. Sehingga pendapatan serta perkembang kemajuan ibukota lebih pesat dari daerah lainnya. Ini berakibat pada sepakbola, dengan dana yang cukup serta perkembangan yang pesat dari sebuah ibukota suatu Negara membuat sepakbola menjadi maju. Karena dengan dana besar suatu klub bisa membeli, menggajih pemain sepakbola yang bagus, bahkan dengan dana yang besar pemain-pemain sepakbola yang merupakan bintang yang dilahirkan dari klub kecil dapat di eksploitasi oleh klub besar karena kelebihan dari sektor uang.
Dapat disimpulkan bahwa klub sepakbola yang mempunyai dana besar kemungkinan besar adalah klub yang dapat menjuarai suatu kompetisi. Namun ada yang menarik bila kita melihat perkembangan sepakbola di Indonesia, yakni adanya pemerataan persaingan dan cenderung selalu gonta-ganti juara. Secara juridis, ada hubungan yang erat antara bola dan kebijakan pemerintah, hal ini berkaitan dengan diberlakukannya Undang-undang No. 12 Tahun 2008 Tentang perubahan kedua atas Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 Tentang pemerintahan daerah (selanjutnya disebut UU Pemda), dimana dikenal adanya asas otonomi yang seluas-luasnya. Hal ini menyebabkan adanya indepedensi oleh suatu daerah untuk mengurusi urusan daerah masing-masing serta memanfaatkan potensi yang dimiliki daerah tersebut, selanjutnya dapat digunakan sebagai pemasukan daerah yang nantinya teraplikasi pada pembangunan daerah itu sendiri. Pengelolaan tersebut dapat dilakukan oleh pemerintah daerah sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, seperti yang diatur dalam pasal Pasal 10 ayat (3) UU Pemda. Dimana urusan pemerintah pusat meliputi: politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiscal nasional, dan agama.
Akibat di berlakukannya peraturan perundang-undangan ini, terjadi adanya pemerataan dan perimbangan pembangunan antara pusat dan daerah. Nah, tentu saja bagi suatu daerah yang mempunyai sumber daya yang besar akan berdampak pada besar pula pendapatan daerah tersebut, terutama dari retrebusi dan pajak terhadap investor yang menanamkan modalnya di daerah tersebut. Hal ini berdampak pula pada klub sepakbola yang berada di daerah tersebut, karena dengan terdapatnya seponsor dan pembiayaan dari sumber APBD, maka dapat dipastikan klub sepakbola tersebut akan menjadi besar seiring dengan besarnya pula dana yang dimilikinya. Sebagai contoh, Sriwijaya FC, Persipura dan Persib.

Hal ini tidak beda jauh dengan klub-klub sepakbola yang ada di luar negeri. Untuk itu, dapat disimpulkan bahwa ada faktor-faktor yang mempengaruhi dan berdampak sistematis terhadap keadaan dan perkembangan sepakbola, yakni masalah modal. Dimana dengan modal suatu klub dapat membeli pemain bagus, pelatih bagus, lapangan bagus, bahkan dapat dijadikan sebagai pelican untuk wasit agar klubnya dimenangkan dalam suatu pertandingan.
Secara tidak langsung, sebenarnya kita sudah melihat gambaran dari keadaan suatu pemerintahan untuk saat ini, yakni dengan milihat kondisi dari sepakbola saat ini. Dalam pemerintahan dikenal adanya teori “Good Governance” yang senantiasa diagungkan dan diusahakan agar pemerintahan yang baik itu bisa terwujud. Teori good governance ini berbicara tentang bagaimana mewujudkan keadaan pemerintahan yang baik, dimana untuk mewujudkannya tersebut diperlukan adanya keseimbangan (check and balances) antara tiga pilar yang menjadi unsure dalam suatu pemerintahan, dimana biasa dihgambarkan dalam bentuk segitiga.
Pemerintah, Rakyat,Corporasi.

Pemerintahan dari suatu Negara tidak akan berjalan dengan baik apabila pemerintah lebih mementingkan corporasi, atau juga pemerintah terlalu mementingkan rakyat dan juga seterusnya. Jadi untuk mewujudkan pemerintahan yang baik ketiga unsur tersebut haruslah balances.

Namun fakta yang terjadi sekarang, dimana terjadi sistem kapitalisme yang digunakan oleh sebagian besar Negara di dunia kecenderungan pemerintah mementingkan corporasi daripada rakyat itu sendiri. Apalagi kalau kita soroti lebih kritis dimana demokrasi adalah system yang mahal yang membutuhkan dana besar untuk diterapkan. Sebagai contoh di Negara Indonesia, untuk menyelengarakan pemilihan kepala daerah I provinsi jambi memerlukan dana sebesar 100 Milyar (majalah Gatra Edisi: 04-10 Februari 2010). Jika uang yang digunakan dalam pemilu dari sebuah partai untuk memenangkan kursi adalah sebagian besar dari dana sumbangan korporasi, tentu nantinya harus ada timbale-balik atas jasa ketika sudah meraih kekuasaan tersebut. Jika kita analogikan, club besar sepakbola yang mengeksploitasi pemain bintang club kecil dengan Negara besar yang mengeksploitasi sumber daya manusia dan alam Negara kecil/berkembang terdapat kemiripan seakan-akan mempunyai sistem yang sama.

Saat ini sekitar 75% APBN Indonesia dibiayai dari pajak rakyat. Sisanya sekitar 25% bersumber dari non-pajak, seperti BUMN. APBN Indonesia juga masih bergantung pada utang luar negeri. Jika kita perhatikan persamaan tersebut ada pada modal (capital). Wajar saja apabila professor Otje Salman salah satu guru besar Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran menyebutkan bahwa kerusakan Negara Indonesia sebagai Negara hukum yang tertulis dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945, disebabkan sistem hukum masih dikalahkan oleh sistem ekonomi dan politik.

Dapat disimpulkan, bahwa modal adalah faktor utama akan suksesnya suatu klub sepakbola dalam menjuara suatu kompetisi, hal ini sama juga dengan pemerintahan, tanpa modal besar sulit untuk meraih suatu kekuasaan. Oleh sebab itu, wajar saja apabila pemerintah dikendalikan dan mendapat intervensi dari para capital atas dasar kepentingan korporasi, mengingat kekuasaan yang diraih dalam pemerintah tak luput dari jasa para capital. Oleh sebab masuk akal apabila orang-orang yang duduk di pemerintahan merupakan orang korporasi juga, dan kebijakan dari pemerintah cenderung mementingkan korporasi sehingga keseimbangan antara pemerintah, korporasi dan rakyat tidak terwujud. Akibatnya dalam mewujudkan pemerintahan yang baik hanyalah sebagai wacana dan angan-angan saja.

Penerapan demokrasi yang membutuhkan pengeluaran biaya yang besar, mendorong teraplikasinya sistem kapitalisme dalam suatu Negara. Dampaknya, sumber pendapatan Negara berasal sebagian besar dari pajak dan hutang luar negeri. Dari uraian yang saya awali dari masalah sepakbola ternyata berdampak serius pada masalah sistematis bangsa ini umumnya Negara-negara di dunia saat ini. Berfikir mengenai sistem yang lebih baik merupakan PR bagi generasi penerus kedepan bangsa ini, termasuk para pecinta bola. Sehingga modal bukan faktor utama dalam meraih juara dalam sepakbola, begitu juga dalam pemerintahan, modal tidak dapat dijadikan alasan politik untuk meraih kekuasaan. Karena politik yang diartikan Aristoteles tentang bagaimana meraih kekuasaan, harus diluruskan kedalam pengertian politik sebagai cara bagaimana memberikan kebijakan untuk mensejahtrakan rakyat, yang mana kekuasaan adalah medianya, bukan tujuan dari politik.

Ditulis oleh: Ilman Dhohiry, mahasiswa FH Unpad angkatan 2006

0 comments: